Rabu, 08 Mei 2013

Tata cara khitbah dan Hukumnya



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab) adalah khitbah (merujuk pada KHI 1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah ini - sering - dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa hal yang berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala kekurangan.









1.2. Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari Khitbah ?
2.      Bagaimanakah dasar hukum khitbah dalam al-Qur’an dan hadist ?
3.      Apa sajakah macam-macam  dan batasan pergaulan dalam Khitbah itu ?
4.      Ada berapakah syarat-syarat khitbah ?
5.      Bagaimanakah konsekuensi pembatalan khitbah ?
6.      Apakah hikmah dari khitbah itu ?

1.3. Tujuan Masalah
1.      Mengetahui pengertian dari khitbah
2.      Mengetahui dasar hukum hitbah dalam al-Qur’an dan Hadist
3.      Mengetahui macam-macam dan batasan pergaulan dalam khitbah
4.      Mengetahui syarat-syarat khitbah
5.      Mengetahui konsekuensi pembatalan khitbah
6.      Mengetahui hikmah dari khitbah













BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Khithbah
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang dipercayainya. Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.[1]
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily  menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari).
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.

2.2 Dasar Hukum Khitbah
Sungguh Islam menjadikan khitbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.


Di dalam hadits disebutkan:
وعن جابرقال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها إلى مايدعوه إلى نكاحها فاليفعل قالفخطبت جارية من نبي سلمة فكنت أختبئ لها تحت الكرب حتى رأيت منها بعض ما دعاني إلى نكاحها فتزوجتها
“Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda: jika seseorang meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia menginginkan untuk melihatnya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah”.
Sedangkan di dalam al-Qur’an juga disebutkan:
ولاجناح عليكم فيما عرَضتم به من خطبة النساء اوكنتم فى انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لاتواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولاتعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم ما فى انفسكم فاحذروه واعلموا ان الله غفور حليم (البقرة: ٢٣٥ )
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
2.3 Macam-Macam dan Batasan Pergaulan dalam Khitbah
            Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu, kecuali untuk peminangan, seperti ucapan, “ saya berkeinginan untuk menikahimu”.
2.      Secara tidak langsung( ta’rif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah.  Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan.” Tidak ada orang yang tidak sepertimu”, adapun sindiran selain ini yang  dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan.  Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab sindiran itu dengan kata-kata yang berisi sindiran juga.  Perempuan yang belum kawin atau yang sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran atau secara tidak langsung.[2]
Jika seorang perempuan ditinggal wafat oleh suaminya maka seorang laki-laki tidak boleh melamarnya secara terang-terangan , karena ia masih dalam keadaan sedih atas kematian orang yang dicintainya, Namun seseorang bisa melamarnya secara kinayah selama masa iddahnya, jika masa iddahnya telah berlalu maka ia boleh melamarnya secara terang-terangan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW  melakukan hal yang sama ketika melamar Ummu Salamah Ra, yang ketika itu masih dalam keadaan iddah atas kematian suaminya, Abu Salamah.  Beliau mengatakan kepada Ummu Salamah, “ Engkau mengetahui bahwa saya adalah seorang Rosullah Saw dan sebaik-baik rosul, dan engkau juga mengetahui kedudukanku di antara kaumku”.  Ini merupakan ucapan kinayah bahwa beliau ingin melamarnya.
Hukum meminang seorang wanita secara terang-terangan yang sedang iddah , tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah masa iddahnya habis, maka dalam hal ini para ulama fikih berbeda pendapat .
Menurut imam Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terang-terangan itu hukumnya haram,  Tetapi , bilamana akad nikahnya terjadi pada masa iddah, maka para ulama sepakat akad nikahnya harus dibatalkan, sekalipun antara mereka telah terjadi persetubuhan. [3]



2.3.1    Batasan Pergaulan Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.

Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena Peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.  Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan karena agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat, apabila  menyendiri  dengan pinangannya akan menimbulkan perbuatan yang dilarang oleh agama.  Akan tetapi bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat maka dibolehkan.[4]  Dalam kaitan ini, Rasullah Saw bersabda:
لا يخلون رجل باءمرءة لاتحل له فان ثا لتهما لشيطان الا لمحرم  (رؤاه احمد)

Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan
Yang tidak halal baginya, karena ketiganya adalah syaithan

Masalah ini sering disepelekan oleh para perempuan dan walinya, mereka membiarkan begitu saja anak perempuannya bepergian kesana-kemari, padahal belum ada ikatan sama sekali.  Tanpa  mengenal batas kesopanan, mereka bebas bergaul dengan calon istrinya padahal masih dalam keadaan  status pinangan, mereka sering mengubar nafsu tanpa memperhatikan aspek kesopanan dan batas pergaulan secara wajar, perbutan seperti ini secara tidak langsung akan berpengaruh jelek pada perkembangan masyarakat.




2.3.2    Batasan Pergaulan  yang Boleh Dilakukan dalam Khitbah
Adapun batasan pergaulan yang boleh dilakukan ketika dalam masa khitbah adalah:
1.      Seorang peminang boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-benar ingin menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu meminang adalah wajah dan telapak tangannya calon istri, sebab wajah adalah pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan biasanya menunjukan kebersihan tubuh dan kesuburannya.[5]
2.      Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus kemaksiatan.  Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah ‘’wanita asing’’ sebelum adanya akad nikah
3.      Pada saat meminang, sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga. Sebab islam mengharamkan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan (bukan mahramnya) secara berduaan,
Itulah beberapa ketentuan dan tata cara ketika meminang calon istri, sebagai ajaran yang hakiki dan sempurna, islam menentukan ketentuan tersebut dalam syariat.  Siapa pun yang berpaling dari ketentuan mulia itu, tentu mereka akan menerima dosa dan tuntutan Allah Swt.
2.4 Syarat Melakukan Khitbah
1.    Syarat Mustahsinah (lebih baik)
Syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik.
Yang termasuk syarat mustahsinah itu adalah:
  • Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
  • Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.
  • Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
  • Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.

2.      Syarat Lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Syarat lazimah tersebut adalah:
  • Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
  • Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa iddah talak raji’i.[6]
  • Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.
2.5  Membatalkan Khitbah
            Hati manusia itu selalu berubah-ubah karena ia adalah fitrah yang dikaruniakan oleh Allah SWT. Begitu juga dalam masalah khitbah, bisa jadi piahak laki-laki yang membatalkan lamarannyaatau sebaliknya, pihak perempuan mencabut kembali keputusannya untuk menerima lamaran pihak laki-laki. Hal ini bisa terjadi, dan kenyataannya memang banyak terjadi.
            Dalam islam, membatalkan lamaran adalah sah-sah saja, sebab lamaran hanyalah janji dan pengantar mkenuju pernikahan, bukan akad. Sehingga, lamaran itu bisa diputus kapan saja. Hanya ,tindakan seperti ini sangat dibenci oleh siapa pun , terutama pihak yang dilamar. Jika alasan memutus lamaran adalah karena terkait dengan persoalan syariat, itu tidak masaah. Namun  jika alasannya mengada-ngada maka islam sangat mencelanya, karena termasuk dalam sifat-sifat orang-orang munafik.
            Dalam sebuah riwayat diceritakan, tatkala kematian menghampiri Abdullah bin umar ra, ia berkata, “ lihatlah laki-laki itu (seorang laki-laki dan kalangan quraisy) saya telah mengucapkan kepadanya kata-kata yang mirip dengan perjanjian. Dan saya tidak ingin menemui allah SWT dengan memikul sepertiga kemunafikan, saya bersaksi di hadapan kalian semua bahwa saya teah menikahkannya.”. demikian gambaran kosisitansi para shahabat dalam menjalankan janji mereka. Janganlah kita dengan mudahnya membatalakan lamaran pernikahan, kecuali alasan syari karena itu akan menyebabkan rasa sakit hati, dan memicu timbulnya permusuhan diantara kedua belah pahak.
            Sementara itu adat berkembang di Indonesia, ketika dilangsungkan lamaran, biasanya membawa barang–barang tertentu sebagai pengikat, bahkan ada yang telah memberikan sebagian mahar. Jika begitu apa yang harus dilakukan jika dibatalkan lamaran ?. jika diberikan itu adalah bagian dari mahar maka ia harus dikembaliakan. Mahar baru boleh dimiliki setelah terjadi akad nikah. Sebelum itu mahar masih menjadi milik laki-laki.
            Sedangkan jika barang-barang yang diberikan itu hanyalah hadiah untuk mempererat hubungan diantara kedua belah pihak maka ia sama hukumnya dengan hibah. Dan itu tidak boleh diambil lagi, kecuali atas keridhoaannya. Barang yang diberikan itu telah masuk kedalam hak kepemilikan pihak perempuan, tentang hal ini rasulullah bersabda.
لا يحل لاحدان يعطى عطية فيرجع فيها الاالوالد فيمايعطي ولده
“Tidak boleh bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian, kemudian mengambilnya kembali, kecuali baqpak kepada anaknya”.




·         Dalil-dalil pembatalan khithbah
Dalil yang menunjukkan mubahnya membatalkan  pinangan adalah hadis berikut;
صحيح البخاري (16/ 110)
         
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Dari Al A’raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.”  (H.R.Bukhari)
Lafadz ” hingga ia menikahinya atau meninggalkannya “  menunjukkan orang yang telah mengkhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan  pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena itu membatalkan  pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.
Kebolehan membatalkan  bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi, pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum dan tidak dipertimbangkan.


Ali pernah melamar seorang wanita, kemudian membatalkan  pinangannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (12/ 69)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ
Dari Az Zuhriy berkata, telah bercerita kepadaku ‘Ali bin Husain bahwa Al Miswar bin Makhramah berkata; “‘Ali pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka Fathimah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Kaummu berkata bahwa baginda tidak marah demi putri baginda. Sekarang ‘Ali hendak menikahi putri Abu Jahal”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: “Hadirin, aku telah menikahkan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’ lalu dia berkomitmen kepadaku dan konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang menyusahkannya. Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki”. Maka ‘Ali membatalkan  pinangannya. (H.R.Bukhari)

Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ} [الصف: 2، 3]
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (As-Shoff;2-3)
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan Khitbah/pinangan karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik pernikahan atau Khitbah. Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian yang berisi keinginan mereka melakukan amal yang paling dicintai Allah. Ternyata, setelah turun ayat yang memberitahu bahwa diantara amal yang paling dicintai Allah adalah berbaris rapi dalam rangka berjihad, sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian itu  merasa berat dengan kewajiban Jihad padahal sebelumnya mereka mengangan-angankannya. Sikap seperti inilah yang dicela oleh Allah dalam ayat ini. Yang menguatakan bahwa ayat ini turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya yang berbunyi;
{نَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ} [الصف: 4 إِ ]
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As-Shoff;4)

Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;
صحيح البخاري  (58 (1/
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat”. (H.R.Bukhari)

Maka hadis ini juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan pinangan. Hal itu dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela sifat mengingkari janji, namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam janji. Pinangan adalah طلب نكاح (permintaan Nikah). dalam Mu’jam Lughati AL-Fuqoha dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 237)
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها
“Khithbah, dengan mengkasrohkan Kho’ adalah; permintaan menikahi wanita kepada wanita itu sendiri atau kepada walinya” (Mu’jam Lughati AL-Fuqoha, vol.1, hlm 237)
Janji untuk menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela dalam Al-Quran, dan dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah berfirman;
{لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا } [البقرة: 235]
Janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (Al-Baqoroh; 235)
Jadi, keputusan membatalkan  pernikahan baik dari pihak lelaki maupun wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara hukum syara’.

2.6 Hikmah Khitbah
Akad nikah dalam islam tergolong akad yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk yang yang paling agung di bumi, yakni manusia yang di muliakan Alloh, sebagaimana firman-NYA
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  
Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS.Al-isra(17):70)
[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Akad nikah untuk selamanya sepanjang masa bukan untuk sementara . Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah di seleksi benar dan mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan .
Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keburukan bagi ke dua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah di antara hikmah di syariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.[7]
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
a.       Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
b.      Sebagai penguat ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan
peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW bersabda pada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.






BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan

Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Khitbah didalam bahasa Indonesia disebut peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata keerja). Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Hal yang perlu dipahami dalam khitbah diantaranya adalah:
1.      Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
2.      Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
3.      Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
4.      Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan

3.2 Saran
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.


DAFTAR PUSTAKA

Ghozali, Abdul. 2003. Fiqh Munakahat. Kencana Prenada Media Group.
Saebani, Ahmad. April 2009. Fiqh Munakahat. CV. Pustaka Setia. Bandung.
Sati, Pakih. April 2011. Panduan Lengkap Pernikahan. Bening.
Shobuni, Ali. Tafsir Al-Ahkam. Daar al-Kitab al-Islamiyah.
Tihami. Fiqh Munakahat. PT. Rajagrafindo Persada.
Ulwan, Abdullah. September 2006. Tata Cara Meminang dalam Islam. Qisthi Press. Ctkn: 1.



[1] Drs. Beni Ahmad saebani, Fikih Munakahat. Hlm: 146
[2] D. A Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap  Pernikahan, hal 57
[3] Prof. Dr. H.M.A, Tihami, M.A., MM, Fiqh Munakat, hal 32-33
[4]  Prof Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A, Fiqh Munakat, hal 84
[5] Dr Abdullah Nashih Ulwan, Tata Cara Meminang dalam Islam. Hal 39-40
[6] Syekh M. Ali Shobuni, Tafsir Al-Ahkam, hlm: 295
[7] Muhammad abi  Zahra, Al-ahwal-asyhsiyah, hal 31-32

1 komentar:

  1. Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!

    BalasHapus